Archive for the ‘Tadabbur’ Category

Perintah dan Larangan Pertama

Perintah dan larangan pertama dalam al-Quran terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 21 dan 22.

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اعۡبُدُوۡا رَبَّكُمُ الَّذِىۡ خَلَقَكُمۡ وَالَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَ ۙ‏  ٢١

الَّذِىۡ جَعَلَ لَـكُمُ الۡاَرۡضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَآءَ بِنَآءً وَّاَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَاَخۡرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزۡقًا لَّـكُمۡ​ۚ فَلَا تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ اَنۡدَادًا وَّاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ‏ ٢٢

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan yang menurunkan air dari langit, lalu Dia hasilkan dengan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

Inilah perintah dan larangan yang paling penting dalam hidup manusia, yakni menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Perintah ini ditujukan kepada manusia. Jika manusia itu kafir maka perintahnya adalah untuk beriman kepada Allah. Jika manusia itu munafik, maka perintahnya adalah untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Dan jika manusia itu telah beriman, maka perintahnya adalah untuk mengukuhkan imannya kepada Allah.

Bidadari Surga

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَ جَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Ahmad 8512, Muslim 7606 dan yang lainnya).

Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan janji, bahwa siapa saja yang sanggup berpuasa di dunia, menahan diri dari hal yang diharamkan, dia akan mendapatkan gantinya yang jauh lebih indah di akhirat.

Sebaliknya, mereka yang tidak bersabar ketika di dunia, dan tetap nekad melanggar apa yang diharamkan, akan diancam tidak mendapatkan gantinya di akhirat.

Dalam hadis dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا ، ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا ، حُرِمَهَا فِي الآخِرَةِ

“Siapa yang minum khamr di dunia dan dia tidak bertaubat, maka dia diharamkan di akhirat.” (HR. Bukhari 5575 & Muslim 2003).

Dari Umar bin Khattab berkata: “Saya mendengar Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya orang yang memakai kain sutera adalah orang yang tidak akan mendapat bahagian nanti (di akhirat).” (HR. Bukhari Muslim)

Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwasannya Nabi Muhammad  bersabda, “Memakai kain sutera dan emas itu haram bagi umatku yang laki-laki; dan halal bagi umatku yang perempuan.” (HR. At-Tirmidzi)

Berdasarkan beberapa dalil di atas, para ulama menetapkan satu kaidah fikih,

مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ

“Orang yang terburu-buru melakukan sesuatu sebelum waktunya, akan diharamkan untuk mendapatkannya (setelah tiba waktunya).”

Dari sini, sebagian ulama melakukan qiyas, untuk semua pelanggaran syariat, bisa mengancam orang itu tidak mendapatkan janji kenikmatan yang semisal kelak di surga.

Di antaranya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin (taman orang jatuh cinta) beliau menyebutkan berbagai dampak buruk zina mata dan anggota badan lainnya. Salah satunya, seorang pezina tidak akan mendapatkan bidadari di kemah-kemah yang indah di surga nan abadi.

Beliau menyebutkan alasannya, Allah menghukum orang yang memakai sutera dan emas di dunia dengan mengharamkan dia untuk memakainya di akhirat, juga menghukum peminum khamr di dunia, dengan mengharamkan untuk meminumnya di akhirat. Demikian pula ketika seseorang menikmati gambar yang haram di dunia, bahkan semua hal yang haram, yang dilanggar oleh hamba di dunia, dia bisa tidak mendapatkan yang semisal ketika di akhirat. (Raudhatul Muhibbin, 1/362).

Ibnu Mubarak berkata dari Auza’i dari Yahya bin Abu Katsir: Sesungguhnya bidadari yang bermata jelita, menunggu penghuni surga masing-masing di pintu surga. Mereka berkata : “Duhai lama sekali kami menunggu kedatangan Tuan”. Kami selalu riang dan tidak cemberut selama-lamanya, kami tetap tinggal bersamamu dan tidak akan berpisah selama-lamanya, kami tetap kekal dan tidak akan mati selama lamanya”. Bidadari tersebut berkata dengan suara paling merdu yang belum pernah didengar oleh telinga. Kemudian ia berkata, “Engkau adalah kekasihku dan Aku adalah kekasihmu.”

Maka bersabarlah wahai kamu yang mendambakan bidadari surga, palingkanlah pandanganmu dari segala sesuatu yang haram bagimu yang  dapat membangkitkan syahwat. Karena bidadari surga sungguh berharga untuk diperjuangkan. Karena hidup di dunia hanya sebentar, sedangkan hidup di akhirat selama-lamanya.

Ibu Pulanglah

Dalam surat al-Ahzab ayat 33, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِٱلۡأُولَىٰۖ

“Dan hendaklah kamu (wanita) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu…”

Kalimat yang sangat jelas, tempat wanita itu memang di rumah. Inilah yang pada zaman sekarang wanita digiring untuk keluar dari rumahnya masing-masing dengan alasan aktualisasi ilmu mereka di masyarakat dan banyak alasan lainnya. Tapi dalam surat Ali Imran ayat 36, Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:

وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلۡأُنثَىٰۖ

“Dan laki-laki tidaklah sama dengan wanita…”

Artinya tanggung jawab mereka juga tidak sama dan dalam surat al-Ahzab ayat 33 di atas, Allah Subhanahu waTa’ala telah menjelaskan bahwa tanggung jawab wanita adalah di rumahnya. Sudah saatnya wanita mentadabburi apakah ini yang menyebabkan keluarga mereka bermasalah. Apakah ini yang menyebabkan anak-anak mereka tidak menjadi anak yang istimewa.

Maka wahai ibu pulanglah, karena suamimu ingin mereguk di telaga cintamu.

Ibu pulanglah, karena di luar sana sangat tidak ramah untuk kelembutanmu.

Ibu pulanglah, karena istanamu menunggu sentuhanmu.

Ibu pulanglah, karena calon pemimpin masa depan ummat ini sudah duduk dengan manisnya dan siap belajar di madrasahmu.

Ibu pulanglah, karena anakmu hanya ingin merasakan tatapan teduh pandanganmu.

Ibu pulanglah, karena Allah yang memerintahkan para ibu untuk pulang.

Ibu pulanglah, sebelum semuanya terlambat…

Kenapa Engkau Menyukai Nyanyian?

Saudara yang semoga dirahmati Allah Ta’ala. Malam ini aku ingin berterus-terang dan berbicara terbuka kepadamu.

Sudah berapa panjang jalan yang telah kita tempuh. Berapa hitungan siang dan malam kita lalui dan berapa lagi tersisa kehidupan kita. Tidakkah pantas kita untuk sejenak saja berterus-terang dan berbicara dengan terbuka, dengan penuh kelembutan dan bahasa yang penuh ukhuwwah dan cinta karena Allah?

Aku berharap kalian mau meluangkan waktu sejenak untuk membaca tulisan ini, beri aku waktu sedikit saja untuk menjawab beberapa pertanyaan beberapa orang saudara dan saudari kita seputar musik dan nyanyian.

Kalau ada yang tidak siap untuk membaca tulisan ini sekarang, silahkan print tulisan ini dan bacalah di waktu lain, ketika kau seorang diri dan sedang berpikiran jernih.

Saudaraku yang mendengarkan nyanyian dan musik, huruf-hurufku menyerumu dengan penuh harap. Jangan katakan “Tidak ada gunanya sekalipun engkau berulangkali menasehati kami!” Tapi dengan penuh keyakinan katakanlah, “Ya, kami akan mendengarkan panggilan kebenaran.” Sejatinya seorang berakal itu adalah orang yang membenarkan kebenaran dan menerimanya, sedangkan orang bodoh adalah orang yang menutup matanya dari kebenaran serta menolaknya.

Dan ketahuilah akhi, kebenaran itu bukanlah perkataanku, atau pendapatmu atau perbuatan guru dan ustadz..tapi kebenaran yang sesungguhnya ada pada Kitabullah dan Hadits-hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama yang shohih sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat beliau.

Maka sebelum engkau membaca tulisan ini, luruskan niat untuk mencari kebenaran, bersihkan akal-pikiran dari keangkuhan dan kesombongan iblis, hapuskan dari hati tabir taklid dan fanatisme, mari junjung tinggi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama di atas segalanya.

Jika tidak, tutup saja halaman ini dan tidak perlu bersusah-payah untuk mengolah kata dan bersilat lidah di sini, karena itu hanya akan membuat hati keras dan membuka pintu-pintu keburukan.

Baiklah, mari kita mulai.

Saudaraku, tidakkah engkau perhatikan bahwa barangkali salah seorang darimu mendengarkan sekumpulan nyanyian selama beberapa jam berturu-turut. Kadang tubuhnya bergoyang, kepalanya menggeleng-geleng atau terangguk-angguk bersama alunan music dan nyanyian yang ia dengar dan barangkali emosinya ikut larut bersama nyanyian-nyanyian tersebut. Akan tetapi pada saat yang sama sangat berat baginya untuk setengah jam saja bersama Kitabullah, padahal ia adalah obat bagi penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat. Padahal ia adalah kitab yang diturunkan dari langit, semuanya adalah berkat, cahaya dan kebaikan!

Pernahkah engkau bertanya pada dirimu, “Kenapa nyanyian itu begitu indah dan nikmat  bagimu, sementara teramat berat bagimu untuk duduk merenungi Al-Qur’an?

Mungkin engkau akan katakan, karena hidup ini ada seninya, music itu bagian dari seni. Atau mungkin kau akan mengatakan, karena nyanyian itu indah dan Allah itu mencintai keindahan??

Saudaraku! Siapkah engkau mempertanggung jawabkan perkataanmu yang terakhir dihadapan Allah? Ketika engkau mengatakan “Nyanyian itu indah dan bukankah Allah mencintai keindahan?” Apakah Allah yang mengatakan kepadamu bahwa Ia mencintai music dan nyanyian? Bukankah khamar, zina atau maksiat lainnya juga indah dan nikmat menurut pelakunya? Beranikah engkau mengatakan seperti apa yang engkau katakan sebelumnya??

Bukan itu sebenarnya wahai saudaraku.

Jawaban yang sebenarnya adalah karena Allah Ta’ala berfirman,

وزين لهم الشيطان أعمالهم

Dan setan menjadikan indah bagi mereka perbuatan-perbuatan mereka itu”.[1]

Inilah yang sebenarnya, dan karena inilah aku ingin berbicara terbuka dan berterus-terang kepadamu.

Saudaraku tercinta, musibah jika kita menipu diri kita sendiri, dan musibah yang lebih besar lagi jika kita bayangkan pada diri kita bahwa tipu-daya ini adalah kelebihan dan keutamaan padahal kelebihan dan keistimewaan nyanyian itu adalah kerasan, kegelisahan, kehampaan. Bahkan rasa sesak dan himpitan jiwa, karena ia menjauhkan dan memalingkanmu dari banyak mengingat Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami kumpulkan ia di hari kiamat dalam keadaan buta”.[2]

Nyanyian saudaraku, hakekatnya adalah penyesalan dan kepedihan, sekalipun ada rasa puas, dan nikmat  tapi itu adalah semu fatamorgana setan.

Dengarkan perkataan Allah ini kepada Iblis yang dilaknat,

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا

dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka[3].

Imam Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsirnya menafsirkan ayat ini, “firman-Nya (dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan (suaramu) ajakanmu) dikatakan maksudnya adalah nyanyian. Mujahid berkata, “Yaitu dengan permainan dan nyanyian, yaitu hasunglah mereka dengannya.”

Imam Ibnul Qoyyim menegaskan, “Dan diantara tipu daya musuh Allah dan jerat-jeratnya kepada orang yang sedikit ilmu, akal dan agama serta dengannya ia menjerat hati orang-orang yang jahil dan kosong yaitu mendengarkan siulan, tepuk-tangan  dan nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan, agar menghalangi hati dari Al-Qur’an dan membuatnya terfokus kepada kefasikan dan kemaksiatan. Nyanyian adalah Quran-nya setan, tabir tebal penghalang dari Al-Qur’an, ia adalah mantera homoseks, dan zina. Dengan nyanyian orang fasik mendapatkan keinginannya kepada orang yang dihasratkannya. Dengan nyanyian setan memerangkap jiwa-jiwa yang kosong sehingga dijadikannya seolah-olah baik padahal itu tipu-daya belaka. Dan dibisikkannya kepadanya syubhat-syubhat yang batil agar tampak baik, maka “wahyu”nya (setan) diterima, dan karennya ia meninggalkan Al-Qur’an”.

Ketika kenikmatan palsu dari nyanyian itu berlalu tinggallah bercak maksiat dan keresahan serta kegelisahan, sementara kegembiraan semunya telah sirna, tinggallah dosa tercatat dalam catatan amalan.

Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian orang bangga dengan nyanyian dan bangga bisa dekat dengan penyanyi kesukaannya atau melantunkan nyanyi kesukaannya. Kebanggaan apa dengan maksiat kepada Allah Ta’ala?!

Dan diantara kebodohan yang sering kita dengar, ungkapan “Artis yang tercinta, penyanyi kesayangan ..” tidakkah mereka mengetahui bahwasanya seseorang kelak di hari kiamat dikumpulkan bersama orang yang ia cintai? Sebagaimana disabdakan oleh Nabi kita shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh, setan telah mempermainkan sebagian manusia, sehingga mereka mengira bahwa seni musik dan tarik suara adalah sebuah misi pendidikan dan pembinaan generasi. Pendidikan dan pembinaan apa yang kau lihat wahai saudaraku yang telah diwariskan oleh para penyanyi dan pemusik?

Wahai generasi muda Islam!

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mensucikan jiwa “Sungguh telah beruntung orang yang mensucikannya”. Dan nyanyian adalah kezaliman bagi jiwa yang Allah amanahkan kepadamu, dan Ia perintahkan engkau mensucikannya. Maka engkau wajib mensucikannya dari noda-noda maksiat dan menjauhkannya dari lumpur syahwat. Maka janganlah zalimi jiwamu dengan nyanyian yang akan menjauhkannya dari mengingat Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan diantara manusia ada orang yang memperjual-belikan perkataan yang sia-sia untuk menyesatkan dari jalan Allah dengan tanpa ilmu dan menjadikannya sebagai permainan, bagi mereka azab yang menghinakan”. (Luqman: 6)

Sebagian Ahli tafsir mengatakan menjual-beli perkataan sia-sia dengan agamanya, hartanya, dan waktunya.

Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat yang paling ‘alim bersumpah bahwasanya yang dimaksud dengan perkataan sia-sia di ayat ini adalah nyanyian. Dan ini juga diriwayatkan dengan shohih dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas semoga Allah meridhoi semuanya. Silahkan buka tafsir Ath-Thobari, Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir di tafsir ayat ini untuk mendapatkan perkataan ulama-ulama lainnya.

Al-Wahidy rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan haramnya nyanyian”.

Dan Imam Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrok menegaskan, “Hendaklah para penuntut ilmu mengetahui bahwasanya penafsiran sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu menurut Syaikhoini (Bukhari dan Muslim) adalah sama dengan hadits musnad”.

Nabi kita Muhamad shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda menjelaskan dan mengingatkan penyakit ini yang dianggap seni oleh banyak orang zaman sekarang,

(ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير و الخمر و المعازف )

Artinya, “Akan ada orang-orang dari umatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutra, khomar, dan alat-alat musik”.[4]

Lafazh Al-Ma’azif di hadits ini mencakup segala alat musik. Jelas dan  tegas hukum asalnya adalah haram kemudian akan ada nanti yang menganggapnya halal bahkan menganggapnya seni dan indah.

Kemudian, uang yang engkau gunakan untuk membeli atau mendownload nyanyian itu, serta waktu yang engkau habiskan untuk mendengarkannya akan diminta pertanggung-jawabannya di hari kiamat. Dan ketika itu tidak berguna lagi bagimu para penyanyi dengan nyanyiannya .. yang berguna ketika itu hanyalah amal sholehmu!

Sudahkan engkau mempersiapkan bekal untuk bertemu dengan Allah? Apakah engkau sudah memperhitungkan hari itu?

Dan untukmu yang menyatakan taubat dari nyanyian dan ingin kembali kepada kebenaran, dengarkan kabar gembira dari Allah Ta’ala untukmu,

{ويوم تقوم الساعة يومئذ يتفرقون فأما الذين آمنوا وعملوا الصالحات فهم في روضة يحبرون}

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Maka mereka di dalam taman (surga) bergembira.”[5]

Bergembira di ayat ini maksudnya kenikmatan dan kelezatan mendengar.

Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Sesungguhnya bidadari bernyanyi di surga, mereka menyanyikan, ‘Kami adalah bidadari yang cantik, disiapkan untuk suami-suami kami yang mulia”.[6]

Agaknya ada yang bertanya-tanya, bagaimana cara aku berlepas diri dari mendengarkan nyanyian? Aku sudah terbiasa mendengarnya sehingga tidak mudah meninggalkannya??

Dengarkan saudaraku .. saudariku,

1.     Sungguh-sungguhlah bertaubat, bangkitkan keberanian dan kesungguhan untuk bertaubat. Harus ada keberanian untuk meninggalkan maksiat!

2.     Buang, hapus, semua nyanyian yang engkau simpan.

3.     Jika hasrat bergelora memaksamu untuk mendengarkan nyanyian, segeralah buka mushaf Al-Qur’an dan bacalah dengan penuh ikhlas dan penghayatan. Jika tidak bisa, maka dengarkanlah salah satu bacaan Al-Qur’an para ulama atau qori’ yang membacakan Al-Qur’an dengan benar dan indah.

4.     Sibukkan diri dengan menimba ilmu agama, mendalami ayat-ayat Allah sesungguhnya itu jauh lebih indah dan nikmat. Sebagaimana Imam Syafi’I pernah mengungkapkan bahwa baginya suara gesekan pena di atas kertas ketika ia menuliskan ilmu jauh lebih indah dari pada suara penyanyi wanita.

عن جابر رضي الله عنه قال:”خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم مع عبد الرحمن بن عوف إلى النخيل، فإذا ابنه إبراهيم يجود بنفسه، فوضعه في حجره ففاضت عيناه، فقال عبد الرحمن: أتبكي وأنت تنهى عن البكاء؟ قال: إني لم أنه عن البكاء، وإنما نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين: صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير شيطان، وصوت عند مصيبة: خمش وجوه وشق جيوب ورنَّة”

Dari Jabir rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama keluar bersama Abdurrahman bin Auf ke perkebunan korma. Tiba-tiba anaknya Ibrahim sekarat. Maka ia meletakkannya di pangkuannya dan kedua matanya menangis. Maka Abdurrahman berkata, ‘Apakah engkau menangis ya Rasulullah, sedangkan engkau melarang menangis?’ Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Sesungguhnya aku tidak melarang menangis. Yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan keji; suara bersama irama, permainan dan seruling setan dan suara ratapan ketika ditimpa musibah”.[7]

PENDAPAT ULAMA TENTANG NYANYIAN

(Bukan pendapat orang yang mengaku ulama atau berbaju ulama)

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Nyanyian itu permulaannya dari setan dan akhirnya adalah kemurkaan Ar-Rahman”.

Sebagian ulama bahkan menukilkan Ijma’ atas keharamannya. Mereka adalah : Imam Al-Qurthuby di dalam tafsirnya, Ibnu Sholah, dan Ibnu Rajab.

Imam Al-Qurthuby di dalam tafsirnya berkata, “Nyanyian dilarang berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah”. Beliau juga berkata, “Adapun seruling, awtar (alat music petik) dan gendang tidak ada persesilihan tentang keharaman mendengarkannya. Dan aku tidak pernah mendengar seorangpun dari kalangan salaf yang perkataannya dijadikan pegangan serta imam-imam kholaf yang membolehkan itu. Bagaimana tidak diharamkan karena dia adalah syi’ar para pemabuk dan orang-orang fasik, penggerak syahwat, kegilaan dan perbuatan cabul. Yang seperti itu tidak diragukan lagi keharamannya dan kefasikan pelakukanya dan dosanya”.[8]

Imam Malik ketika ditanya tentang nyanyian dan mendengarkannya berkata, “Apakah ada orang yang berakal mengatakan bahwa nyanyian itu adalah hak? Ditempat kami hanya orang-orang fasik yang melakukannya!”. (Tafsir Al-Qurthuby)

Dan banyak lagi sebenarnya perkataan ulama seputar masalah ini. barangsiapa yang ingin lebih mendalaminya, silahkan tela’ah kitab Ighotsatul Lahfan karya Ibnu Qoyyim, [dan, -ed]Tahrim Aalaatit Thorbi karya Syaikh Al-Albany. Wallahu a’lam bish Showab.

Sumber: Telaga Hati

Catatan Kaki:

[1] Al-Anfal : 48.

[2] Thoha :

[3] Al-Isro’ : 64.

[4] Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari.

[5] Ar-Rum : 15.

[6] Shahih Al-Jami’ no. (1602) dan hadits ini adalah shahih sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Al-Albany.

[7] Dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi di Sunan-Nya dan ia berkata, “Hadits ini adalah hasan”. dan dihasankan juga oleh Al-Albany (Shahih Al-Jami’ : 5194).

[8] baca : Az-Zawajir ‘an iqtiroof Al-Kaba-ir oleh Ibnu Hajar Al-Haitamy.

Hidup Bukan untuk Main-Main

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Ibrahim bin Adham termasuk keturunan orang terpandang. Ayahnya kaya, memiliki banyak pembantu, kendaraan dan kemewahan. Ia terbiasa menghabiskan waktunya untuk menghibur diri dan bersenang-senang. Ketika ia sedang berburu, tak sengaja beliau mendengar suara lantunan firman Allah Ta’ala,

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (QS al-Mukminun : 115)

Serasa disambar petir. Ayat itu betul-betul menyentak beliau. Menggugah kesadaran, betapa selama ini telah bermain-main dalam menjalani hidup. Padahal hidup adalah pertaruhan, yang kelak akan dibayar dengan kesengsaraan tak terperi, atau kebahagiaan tak tertandingi. Yakni saat di mana mereka dikembalikan kepada Allah untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Sejak itulah beliau tersadar, dan itulah awal beliau meniti hidup secara semestinya, hingga saksi sejarah mencatat beliau sebagai ahli ibadah dan ahli ilmu yang ‘bukan main’.

Bila Hidup Dianggap Main-Main

Rasa-rasanya, ayat ini seperti belum pernah diperdengarkan di zaman kita ini. Meski tidak terkalamkan, lisaanul haal menjadi bukti, banyak manusia yang menganggap hidup ini hanya iseng dan main-main. Aktivitasnya hanya berkisar antara tidur, makan, cari makan dan selebihnya adalah mencari hiburan. Seakan untuk itulah mereka diciptakan.

Ayat ini menjadi peringatan telak bagi siapapun yang tidak serius menjalani misi hidup yang sesungguhnya. Kata ‘afahasibtum’, (maka apakah kamu mengira), ini berupa istifham inkari, kata tanya yang dimaksudkan sebagai sanggahan. Yakni, sangkaan kalian, bahwa Kami menciptakan kalian hanya untuk iseng, main-main atau kebetulan itu sama sekali tidak benar. Dan persangkaan kalian, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami, adalah keliru.

Allah tidak akan membiarkan manusia melenggang begitu saja, bebas berbuat, menghabiskan jatah umur, lalu mati dan tidak kembali,

”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah 36)

Orang yang tidak mengetahui tujuan ia diciptakan, tak memiliki patokan yang jelas dalam meniti hidup. Tak ada panduan arah yang bisa dipertanggungjawabkan, hingga ia akan terseok dan tertatih di belantara kesesatan.

Hanya ada tiga ’guide’ yang mungkin akan mereka percaya untuk memandu jalan. Pertama adalah hawa nafsu. Dia berbuat dan berjalan sesuai petunjuk nafsu. Apa yang diingini nafsu, itulah yang dilakukan. Kemana arah nafsu, kesitu pula dia akan berjalan. Padahal, nafsu cenderung berjalan miring dan bengkok, betapa besar potensi ia terjungkal ke jurang kesesatan.

Pemandu jalan kedua adalah setan. Ketika seseorang tidak secara aktif mencari petunjuk sang Pencipta sebagai rambu-rambu jalan, maka setan menawarkan peta perjalanan. Ia pun dengan mudah menurut tanpa ada keraguan. Karena sekali lagi, dia tidak punya ’kompas’ yang bisa dipertanggungjawabkan dalam menentukan arah perjalanan. Sementara, peta yang disodorkan setan itu menggiring mereka menuju neraka yang menyala-nyala,

”Sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni naar yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)

Rambu-rambu ketiga adalah tradisi orang kebanyakan. Yang ia tahu, kebenaran itu adalah apa yang dilakukan banyak orang. Itulah kiblat dan barometer setiap tingkah laku dan perbuatan. Padahal,

”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. al-An’am: 116)

Misi Hidup yang Bukan Main

Allah menciptakan manusia untuk tugas yang sangat agung; agar mereka beribadah kepada-Nya. Untuk misi itu, masing-masing diberi tenggat waktu yang sangat terbatas di dunia. Kelak, mereka akan mempertanggungjawabkan segala perilakunya di dunia, adakah mereka gunakan kesempatan sesuai dengan misi yang diemban? Ataukah sebaliknya; lembar catatan amal dipenuhi dengan aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang diperintahkan.

Di hari di mana mereka dinilai atas kinerja mereka di dunia, tak ada satu episode pun dari kehidupan manusia yang tersembunyi dari Allah. Bahkan semua tercatat dengan detil dan rinci, hingga manusiapun terperanjat dan keheranan, bagaimana ada catatan yang sedetil itu, mereka berkata,

”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis).” (QS. al-Kahfi: 49)

Sebelum peluang terlewatkan, hendaknya kita bangun motivasi, untuk menjadikan hidup lebih berarti. Mudah-mudahan, fragmen singkat di bawah ini membantu kita untuk membangkitkan semangat itu.

Suatu kali Fudhail bin Iyadh bertanya kepada seseorang, “Berapakah umur Anda sekarang ini?” Orang itu menjawab, “60 tahun.” Fudhail berkata, “Kalau begitu, selama 60 tahun itu Anda telah berjalan menuju perjumpaan dengan Allah, dan tak lama lagi perjalanan Anda akan sampai.”

Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un,” tukas orang itu.

Fudhail kembali bertanya, ”Tahukah Anda, apa makna kata-kata yang Anda ucapkan tadi? Barangsiapa yang mengetahui bahwa dirinya adalah milik Allah, dan kepada-Nya pula akan kembali, maka hendaknya dia menyadari, bahwa dirinya kelak akan menghadap kepada-Nya. Dan barangsiapa menyadari dirinya akan menghadap Allah, hendaknya dia juga tahu bahwa pasti dia akan ditanya. Dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dilakukannya. Maka barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya, hendaknya dia menyiapkan jawaban.”

Orang itu bertanya, ”Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Sedangkan kesempatan telah terlewat?”

Fudhail menjawab, ”Hendaknya Anda berusaha memperbagus amal di umur yang masih tersisa, sekaligus memohon ampunan kepada Allah atas kesalahan di masa lampau.”

Semoga kita mampu mengubah hidup kita, dari main-main, menjadi bukan main.