Archive for August, 2019

Thowaf Wada’

Malam hari ini Senin tanggal 19 Dzulhijjah 1440, ba’da isya kami dijadwalkan berangkat meninggalkan Makkah menuju bandara Jeddah. Sebelum meninggalkan kota Makkah, kewajiban terakhir seorang jamaah haji adalah mengerjakan thowaf wada’, yakni thowaf perpisahan.

Sebagian besar jamaah haji di kloter 4 BTH sudah melaksanakannya sejak kemarin sehingga hari ini mereka tidak boleh lagi shalat di masjidil Haram. Karena merasa rugi jika tidak boleh shalat di Haram, kuputuskan thowaf wada’ hari ini ba’da shalat ashar walaupun sendiri. Khawatir kalau ba’da shalat maghrib nanti belum selesai sudah adzan isya.

Shalat ashar aku memilih di tempat thawaf lantai dua dekat pintu Safa agar bisa langsung thowaf. Tapi ternyata yang thowaf ramai sekali. Terakhir waktu aku thowaf ifadhoh di lantai dua memakan waktu dua setengah jam. Sedangkan selesai shalat ashar sudah lewat jam 4 sore. Bisa-bisa adzan maghrib nanti belum selesai thowaf. Sementara nanti malam jamaah kloter 4 akan meninggalkan Makkah.

Agar cepat selesai, kuputuskan thowaf di pelataran Ka’bah, meskipun penuh sesak dan panas oleh terik sinar matahari. Namun untuk sampai ke pelataran Ka’bah tidaklah mudah. Jalan terdekat melalui pintu Safa lantai dasar ditutup oleh petugas.

Akhirnya aku keluar masjid melalui tempat sa’i dan berjalan menuju pintu Ismail. Meskipun harus jalan memutar tapi akhirnya aku berhasil masuk ke lantai satu. Dari lantai satu ke pelataran Ka’bah ternyata juga tidak mudah karena jalannya juga ditutup oleh petugas. Aku berjalan terus sampai di tempat awal thowaf aku berniat memulai thowaf wada’.

Ketika sampai di pintu Umrah aku menemukan tangga turun ke pelataran Ka’bah yang tidak ditutup oleh petugas. Inilah pertama kalinya aku melewati tangga ini.

Setelah sampai di pelataran aku melanjutkan thowaf hingga selesai. Jangan ditanya bagaimana padatnya jamaah yang thowaf di sini ditambah terik matahari membuat baju gamis yang aku pakai basah oleh keringat. Akhirnya jam 5.30 sore thowaf perpisahan itu selesai.

Aku pun ke pinggir pelataran dan berbalik arah kembali menuju pintu Ismail. Sepanjang jalan menuju pintu keluar, air mata tak tertahan lagi. Karena ini hari terakhir di masjid al-Haram. Selamat tinggal wahai Baitullah, semoga di lain waktu Allah ‘Azza wa Jalla mengizinkan aku kembali ke sini.

Begitu sampai di hotel aku langsung mandi, shalat maghrib dan isya di masjid belakang hotel. Setelah sholat isya kembali ke hotel untuk makan malam dan berkemas. Gamis yang kupakai thowaf wada’ tadi sore ditinggal karena basah oleh keringat dan tidak muat lagi dalam koper kecil. Bagitu juga sandal gunung yang kupakai waktu wuquf di Arafah ditinggal karena sudah copot talinya. Sekitar jam 10 malam semua jamaah kloter 4 diminta naik bus sesuai nomor rombongan.

Di atas bus dalam perjalanan menuju Jeddah aku membuat catatan ini dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi rasanya sedih meninggalkan kota kelahiran Nabi. Namun di sisi lain merasa senang akan pulang ke tanah air.

Dari jendela bus tempat duduk paling belakang aku menatap jalan tol yang sepi. Jamaah yang lain sepertinya sudah tertidur pulas. Meskipun masih capek setelah thowaf wada’ tadi sore tapi menulis di blog ini sudah jadi kebiasaan sebelum tidur.

Delapan tahun menunggu untuk pergi haji. Ini adalah akhir catatan perjalananku menunaikan ibadah haji ke tanah suci tahun 1440 hijriyah. Semoga menjadi haji yang mabrur dan usaha yang disyukuri. Ya Allah ampunilah semua dosa dan kesalahanku. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin 

Ja’faria vs Zamzam Tower

 

Masjid Jin

Sabtu 17 Agustus 2019 menjadi awal persiapan pulang ke tanah air. Rapat petugas kloter BTH 4 dengan seluruh ketua rombongan  memutuskan bahwa malam ini koper besar seluruh jamaah haji kloter kami BTH 4 sudah diletakkan di luar kamar masing-masing.

Tentu saja setiap jamaah menjadi sibuk menyiapkan kopernya masing-masing. Sebagian besar jamaah sudah membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tanah air dan sibuk menyusunnya ke dalam koper.

Sebagian lagi masih sibuk membeli oleh-oleh. Ada beberapa tempat yang menjadi konsentrasi massa berbelanja. Yang pertama adalah pedagang musiman yang berjualan di pinggir jalan atau dekat terminal bus. Di sini adalah tempat belanja jamaah haji golongan menengah ke bawah. Bagi mereka yang penting adalah harganya murah, sedangkan kualitas tidak penting.

Yang kedua adalah pusat perbelanjaan di kawasan Ja’faria dekat Masjid Jin. Untuk sampai ke sini jamaah haji harus naik bus shalawat ke terminal Syib Amir, kemudian jalan kaki atau bisa langsung naik taksi dari hotel kena 4 riyal per orang. Yang belanja di sini bercampur antara golongan menengah bawah dan menengah atas.

Yang terakhir adalah pusat perbelanjaan di kawasan Zamzam Tower dan sekitarnya. Di sini tempat belanjanya golongan menengah atas, seperti supermarket Bin Dawood dan Arabian Oud. Di sini ada tersedia barang-barang branded namun harus hati-hati karena banyak juga yang tidak asli alias KW.

Manapun pilihannya tergantung selera dan kemampuan finansial. Ada yang secara finansial mampu tapi tidak selera dengan barang mahal. Sementara yang tidak mampu secara finansial harus puas dengan barang KW.

Akhirnya malam ini semua jamaah kloter BTH 4 menimbang koper besar mereka agar tidak lebih dari batas maksimum 32 kg sesuai ketentuan maskapai Saudia Airline yang mengantar kami dari Jeddah ke Batam. Sedangkan tas tentengan tidak lebih dari batas maksimum 7 kg sesuai ketentuan maskapai Lion Air yang akan mengantar kami dari Batam ke Pekanbaru.

Bagaimanapun indahnya ibadah haji, tentu saja jamaah haji merasa rindu kampung halaman. Semuanya terasa indah, termasuk persiapan pulang ke tanah air. Secara fisik mereka masih berada di tanah suci, namun pikiran mereka telah melayang ke kampung halaman. Terutama bagi yang berangkat tidak bersama istri-istri mereka, tentulah tidak sabar lagi ingin berjumpa. Lagi pula hari ini adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia, yang dalam bahasa Arabnya adalah جمهورية إندونيسيا، merdeka!

Masjid Bai’at

Tak jauh dari bangunan Jamarat yang besar dan megah, di sebelah kanan kalau keluar dari Jumrah Aqabah ada sebuah masjid kuno yang berwarna kuning berukuran sekitar 15 x 30 meter persegi.

Masjid ini tanpa atap dengan tinggi dinding bagian depan sekitar 7 meter dan bagian belakang sekitar 2 meter. Katanya masjid ini ditemukan tahun 2006 ketika pengerukan dilakukan untuk pembangunan gedung Jamarat.

Inilah masjid Bai’at yang dibangun oleh Khalifah al-Mansur dari Dinasti Abbasiyyah sekitar tahun 144 H di tempat terjadinya Bai’at Aqabah yang pertama dan yang kedua antara Nabi Muhammad dan kaum Anshar. Ketika itu Nabi didampingi oleh pamannya ‘Abbas bin Abdul Muttalib.

Bai’at pertama terjadi pada tahun keduabelas kenabian dengan 12 orang laki-laki penduduk Yatsrib (Madinah) yang kemudian memeluk Islam. Bai’at kedua terjadi pada tahun berikutnya dengan 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Di antaranya adalah Mu’adz bin Jabal, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Rawahah, Sa’ad bin Ubadah, dan Ka’ab bin Malik.

Peristiwa bersejarah ini merupakan titik balik kemenangan Islam dan kaum muslimin yang banyak dilupakan. Seperti masjid Ghomamah yang terdapat di Madinah, masjid ini salah satu peninggalan sejarah yang dihargai oleh kerajaan Saudi Arabia. Padahal kerajaan ini biasanya membangun sesuatu secara fungsional meskipun harus mengabaikan nilai sejarah yang sangat besar.

Masjid Ghomamah Madinah

Hari Tasyrik

Hari Tasyrik dimulai dari tanggal 11 Zulhijjah hingga tanggal 13 Zulhijjah. Jika memilih untuk Nafar Tsani maka selama tiga hari itu jamaah haji secara berurutan melontar jumrah dan mabit di Mina. Sedangkan untuk Nafar Awal melontar Jamarat dan mabit di Mina hanya pada tanggal 11 dan 12 Zulhijjah saja.

Awalnya setiap jamaah memilih yang afdhol, yakni Nafar Tsani. Namun sebagian besar jamaah akhirnya memutuskan memilih Nafar Awwal karena tidak tahan dengan mabit di Mina.

Bagi yang menginap di tenda Mina masalahnya adalah jauhnya jarak antara tenda Mina dan Jamarat yang lebih dari 4 km dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Berarti bolak-balik menjadi 8 km per hari.

Sedangkan bagi yang memilih mabit dekat Jamarat di Mina, masalahnya adalah sering diusir oleh petugas keamanan. Dengan modal tikar lipat dan makanan sekadarnya, jamaah haji harus rela berpindah tempat setiap kali diusir oleh petugas. Hal ini tak obahnya seperti thawaf, berpindah dari tempat pertama ke tempat kedua, kemudian pindah ke tempat ketiga dan balik lagi ke tempat pertama.

Namun disinilah letak serunya mabit di Mina. Bagi yang menginap di tenda tidak akan merasakan keseruan ini. Rasanya seperti camping secara ilegal  di tempat pengungsian. Ya, mungkin ini istilah yang cocok dengan situasi mabit dekat Jamarat.

Sebagian jamaah memilih i’tikaf secara legal di masjid al-Khaif dekat Jamarat. Namun mereka harus siap datang cepat untuk shalat ashar di sini dan bertahan dengan dinginnya AC di dalam masjid ini.

Walhasil hanya sedikit jamaah yang bertahan dengan situasi ini dan akhirnya memilih untuk Nafar Awwal. Sebagian  mereka adalah jamaah haji perempuan atau yang berusia sudah tua dan sebagian lagi masih muda namun semangatnya yang sudah tua.

Dengan berakhirnya hari tasyrik maka tinggal satu lagi wajib haji yang perlu dilakukan oleh jamaah haji sebelum kembali ke tanah air, yakni thawaf wada’. Sambil menunggu thawaf wada’, sebagian besar jamaah haji menyerbu toko-toko musiman yang menjual oleh-oleh haji. Sedangkan sebagian kecilnya mengikuti pengajian di masjid dan berusaha mengkhatamkan Al-Qur’an sebelum kembali ke tanah air.

 

Thowaf Ifadhoh

Thowaf ifadhoh termasuk rukun haji yang harus dilakukan. Jika tidak dilakukan, maka haji tidak sah. Thowaf ini juga disebut thowaf ziyarah, thowaf fardh atau thowaf rukun.

Setelah kami wukuf di ‘Arafah, mabit di Muzdalifah, lalu ke Mina melempar jumrah, lalu menggunduli kepala, maka besok paginya tanggal 11 Zuljijjah kami menuju masjid al-Haram untuk melaksanakan thowaf ifadhoh.

Karena tidak ada bus shalawat sejak tanggal 5 sampai 14 Zulhijjah, kami berencana naik bus dari halte dekat Bin Dawood Syisyah yang berjarak sekitar 1 km dari Jamarat. Namun di tengah jalan kami ditawari oleh seorang pengemudi taksi mengantar ke Haram dengan ongkos 25 riyal per orang.

Namun karena kami sudah mengetahui ongkos naik bus adalah 10 riyal, kami hanya mau jika ongkos taksinya 10 riyal per orang. Ternyata supir taksinya mau, akhirnya kami naik taksi ke Haram.

Sampai di Haram kami langsung menuju pintu Safa yang dekat dengan tempat mulai thowaf. Sebelum adzan zhuhur kami sudah selesai thawaf. Kami pun istirahat sambil menunggu masuk waktu zhuhur.

Setelah shalat zhuhur kami lanjutkan dengan sa’i antara bukit Safa dan Marwah. Kami memilih sa’i di lantai dasar, karena di lantai ini kami bisa melihat bukit Safa dan Marwa. Sedangkan di laintai lainnya bukit Marwa tidak kelihatan.

Setelah selesai sa’i kami berjalan pulang ke terminal Syib Amir dengan niat ingin naik bus ke Jamarat. Di waktu inilah hujan turun dengan lebatnya sehingga air tergenang di beberapa ruas jalan. Namun berita yang beredar luas di tanah air Makkah dilanda banjir, khususnya daerah Mina. Hal ini tentu saja membuat khawatir sanak keluarga di tanah air.

Karena hujan gerimis dan macet total, bus tidak bisa meneruskan nanti perjalanan ke Jamarat. Akhirnya kami turun sekitar 300 m sebelum halte dan ongkosnya tidak perlu bayar alias gratis. Walhasil hari ini kami telah menyelesaikan thowaf ifadhoh hanya dengan ongkos 10 riyal saja. Alhamdulillah!

Jamarat

Jamarat adalah jama‘ dari jumrah, juga merupakan nama lokasi melempar jumrah. Ahad, 10 Zulhijjah 1440 kami berangkat jalan kaki dari Muzdalifah menuju Jamarat yang jaraknya sekitar 4 km. Lebih dari 3 juta jamaah haji berbondong-bondong menuju Jamarat.

Karena jamaah sangat banyak, otoritas Arab Saudi membagi waktu melempar jumrah berdasar negara asal. Tujuannya, tidak terjadi konsentrasi massa pada waktu bersamaan.

Jamaah dari Indonesia dilarang melempar  jumrah pada 10 Zulhijjah pukul 04.00-10.00 waktu setempat. Kemudian pada 12 Zulhijjah, waktu yang dilarang pukul 10.00-14.00. Untuk tanggal 11 dan 13 Zulhijjah, jamaah Indonesia bebas melempar kapan pun. Di waktu-waktu terlarang itu jamaah tidak diperbolehkan keluar dari maktab.

Namun kami bisa keluar dari maktab melalui sela-sela tenda dan kontainer air minum yang tidak terjaga. Alasan utama tetap melontar adalah karena sunnah Nabi meninggalkan Muzdalifah ba’da shubuh sebelum terbit matahari.

Lebih kurang satu jam kami sampai di Jamarat. Hari ini yang dilempar hanya Jumrah Aqabah yang letaknya paling ujung. Setelah melempar tujuh kali aku mencukur rambut botak jilid dua, kena 10 riyal dan menuju hotel untuk beristirahat. Sementara kawan-kawan memilih cukur rambut sendiri di hotel.

Sore harinya sebelum Maghrib kami kembali ke Jamarat untuk mabit di masjid al-Khaif yang terletak sekitar 500 m dari Jumrah ‘Uula. Di sini aku mabit sampai lewat tengah malam dan kembali ke hotel untuk beristirahat untuk persiapan kegiatan fisik berikutnya yakni thawaf ifadhah dan sa’i.

Masjid al-Khaif

Hari Arafah

Haji adalah Arafah.

Arafah adalah Hari Perenungan
Sebuah perenungan tentang Sang Khalik
Sebuah perenungan tentang untuk apa kita diciptakan.

Arafah adalah sebuah potret kecil tentang Mahsyar
Mahsyar adalah sebuah hari dimana manusia akan ditimbang kadar Al-Haq dalam dirinya
Mahsyar adalah sebuah hari yang sangat terik yang tidak ada penghalang atasnya.

Mahsyar adalah sebuah hari yang mencekam dimana manusia ditimpa resah dan gelisah
Kegelisahan yang teramat sangat karena Mahsyar adalah hari penantian tentang nasib manusia apakah ia akan masuk surga atau neraka.

Mahsyar adalah sebuah hari penyesalan
Sebuah penyesalan karena manusia telah lalai menunaikan tugas untuk apa ia dicipta
Sebuah penyesalan karena manusia lalai untuk beramal shaleh semasa hidup di alam dunia.

Sedemikian dahsyatnya Mahsyar, sehingga manusia kelak akan mencari perlindungan walau hanya pada sebutir kurma yang pernah ia sedekahkan.

Maka, beruntunglah mereka yang Allah beri naungan dari dahsyatnya alam Mahsyar

Mereka adalah pemimpin yang adil
Para pemuda yang hatinya tertambat ke masjid
Manusia yang bersahabat karena Allah

Manusia yang bersedekah dengan tangan kanannya tanpa diketahui oleh tangan kirinya

Manusia yang menolak perbuatan keji karena takut akan Tuhannya
Manusia yang tekun ibadahnya seraya berlinang air mata ketika ia berdzikir semata karena takut akan Tuhannya.

Selamat Hari Arafah saudara-saudaraku
Semoga Allah mengampuni kehinaan dan kebodohan kita
Semoga Allah selalu menjadikan kita orang yang rendah hati di setiap langkah kaki di bumi ini.

Semoga Allah meneguhkan iman dan Islam kita
Mengganti tangisan kita dengan senyuman
Luka derita dengan kebahagiaan

Kesempitan dengan kelapangan

Kesesatan dengan petunjuk
Penyakit dengan kesembuhan
Kesulitan dengan kemudahan

Dan keputusasaan dengan harapan.

Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita semua.

Hari Tarwiyah

Pada hari tarwiyah tanggal 8 Zulhijjah sunnah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah berangkat ke Mina pada waktu dhuha dan bermalam (mabit) di sana hingga terbit matahari tanggal 9 Zulhijjah. Namun banyak jamaah haji Indonesia yang tidak mengetahuinya karena tidak difasilitasi oleh kemenag yang malah membawa jamaah haji bermalam di Arafah pada tanggal 8 Zulhijjah.

Oleh karena itu jamaah haji yang mau tarwiyah harus berkoordinasi dengan pihak maktab untuk menyediakan transportasi dan konsumsi selama di Mina. Untuk itu setiap jamaah haji membayar 200 riyal ke pihak maktab dan membuat surat pernyataan keluar dari rombongan yang ditandatangani di atas materai dan dilaporkan kepada ketua kloter.

Sebagai koordinator tarwiyah, tugasku adalah mengumpulkan jamaah haji yang tersebar di beberapa maktab dimana satu maktab mengurus 7 kloter. Tak disangka ada banyak jamaah haji dari maktab lain yang ingin bergabung dengan kami sehingga berjumlah 146 orang.

Setelah terkumpul kami menyerahkan semua surat pernyataan itu ke kantor sektor dimana kloter kami berada. Meskipun semua ketua rombongan kloter sempat ditakut-takuti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan, ini tidak menyurutkan langkah kami melaksanakan tarwiyah.

Akhirnya pada tanggal 7 Zulhijjah ba’da Maghrib, kami berangkat dari hotel 104 menuju Mina. Kegiatan ini diliput langsung oleh beberapa stasiun televisi dan ditayangkan di tanah air. Sampai di Mina kami menginap di tenda maktab 3 yang berada di Mina Jadid.

Keberadaan tenda maktab 3 di Mina Jadid ini menjadi perdebatan karena posisinya berada di Muzdalifah. Namun karena pemerintah Saudi telah memperluas wilayah Mina hingga ke Mina Jadid, maka ulama kita memperbolehkan mabit di sini pada hari tarwiyah.

Ketika kami tidur berlapang-lapang di Mina Jadid, jamaah haji Indonesia lainnya yang tidak mengikuti tarwiyah justru bersempit ria di tenda Arafah. Di tenda  berukuran 10 x 15 meter persegi menginap lebih dari 200 orang jamaah. Belum lagi jumlah toilet hanya ada 30 buah untuk lebih dari 3.000  jamaah.

Besok paginya setelah shalat shubuh dan sarapan pagi, kami diantar oleh bus maktab ke tenda Arafah. Waktu tempuh hanya sekitar 15 menit lancar jaya dari Mina hingga Arafah.

Arafah sama sekali tidak kelihatan seperti padang pasir, tapi padang tenda jamaah haji. Di sini kami wuquf dari waktu zhuhur hingga Maghrib. Sebelum shalat zhuhur ada khutbah wuquf oleh pak Agus Salim, teman dosen UIN Suska fakultas Ushuluddin.

Kemudian kami shalat zhuhur dan ashar berjamaah secara jama’ qashar. Setelah itu kami memisahkan diri berdoa dan berdzikir sendiri-sendiri. Inilah salah satu waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a. Alhamdulillah baik di tenda Mina maupun Arafah dipasangi AC, meski sempat mati lampu dari waktu ashar hingga keberangkatan ke Muzdalifah.

 

Hadyu

Sesuai dengan manasik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam penyembelihan hadyu dilakukan pada hari Iedul Adha atau pada hari-hari tasyrik. Namun banyak jamaah haji Indonesia yang melaksanakannya lebih awal. Setelah menunaikan umrah dan menunggu hari arafah, mereka sudah menyembelih hadyu meskipun jauh hari sebelum masuk bulan Zulhijjah.

Sepertinya hal ini telah menjadi bisnis KBIH dan orang-orang Indonesia yang mukim di Mekkah. Jika hadyu dibeli sebelum bulan Zulhijjah, harganya sekitar 250 sampai 300 riyal. Namun setelah masuk bulan Zulhijjah harganya menjadi 400 sampai 500 riyal. Yang menyedihkan adalah banyak jamaah haji Indonesia yang tidak mengetahui hukum membayar dam tamattu’.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz menjelaskan, barangsiapa yang menyembelih hadyu sebagai dam tamattu’ sebelum hari Iedul Adha, hadyu-nya tidaklah sah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah menyembelih hadyu kecuali telah masuk hari Iedul Adha (Nahar).

Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Makkah pada hari keempat Dzulhijjah untuk menunaikan haji dan mereka mengambil manasik tamattu’. Mereka membawa hewan ternak dan unta, hewan-hewan tersebut tetap masih bersama mereka dan mereka baru menyembelihnya setelah datang hari Nahar.

Jika penyembelihan hadyu dibolehkan sebelum Iedul Adha, maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat segera melakukannya pada hari keempat Dzulhijjah ketika mereka sampai di Makkah. Karena mereka butuh menyantap daging saat itu. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak menyembelihnya saat itu namun baru menyembelih ketika datang hari Iedul Adha, ini menunjukkan tidak sahnya menyembelih sebelum hari Iedul Adha.

Sehingga jamaah yang menyembelih sebelum hari Idul Adha, maka ia telah menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ia melakukan syari’at baru, maka tentu tidak sah sebagaimana orang yang shalat atau puasa sebelum waktunya.

Pendapat mayoritas (jumhur) ulama ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i yang menilai bolehnya menyembelih hadyu setelah seseorang masuk berihram untuk menunaikan haji. Pendapat Imam Syafi’i ini telah menyelisihi manasik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepertinya oknum KBIH dan mukimin yang menyembelih hadyu sebelum Iedul Adha telah menjadikan pendapat Imam Syafi’i ini sebagai pembenaran atas apa yang mereka lakukan.

Namun jamaah haji yang telah mengikuti kajian sunnah tidak mau membayar dam tamattu’ melalui KBIH. Mereka mencari lembaga resmi yang telah ditunjuk oleh kerajaan Saudi untuk menunaikan hadyu, misalnya Bank Al-Rajhi. Jika melalui Bank Al-Rajhi, pembayaran hadyu dapat dilakukan mulai tanggal 1 Zulhijjah dan setiap jamaah haji membayar sebesar 490 riyal dengan jaminan penyembelihan dilakukan antara tanggal 10 sampai 13 Zulhijjah.

Sedangkan bagi jamaah haji yang menyembelih hadyu sebelum hari Nahar, ia punya kewajiban untuk mengulangi sembelihan tersebut jika mampu. Jika tidak mampu, maka ia bisa memilih puasa selama tiga hari pada hari haji dan tujuh hari ketika kembali ke negerinya. Sehingga, total puasa tersebut adalah sepuluh hari sebagai ganti dari sembelihan tadi. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

Bagi siapa yang ingin melakukan haji tamattu’ (mengerjakan ‘umrah sebelum haji di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.” (QS. Al Baqarah: 196).”