Archive for December, 2018

Goal Free Living

goal-free-living

Tak semua orang cocok dengan resolusi tahun baru. Saya adalah salah satu contohnya. Sejak zaman kuliah, saya sudah coba membuatnya di awal semester. Tapi hasilnya sama saja, bukannya tercapai malah tiap akhir semester selalu dibebani rasa bersalah, merasa desperate.

Pertanyaannya, bagaimana dengan target tahun ini? Apakah ditingkatkan atau sama dengan sebelumnya? Kalau ditingkatkan, apa tak jadi beban? Target sebelumnya saja belum tercapai, masak ditambah terus? Kalau dibuat sama dengan tahun sebelumnya, berarti saya tak maju-maju, jalan di tempat. Hmm…

Tapi saya tetap membuatnya. Bukankah hidup ini harus terus maju, meningkat dan berkembang. Hari ini saya baca buku Stephen Shapiro, judulnya Goal Free Living, artinya kira-kira: hidup tanpa tujuan. Ternyata hanya 8% orang di Amerika yang sukses mencapai target resolusi yang telah dibuatnya. Banyak orang di Amerika merasa desperate dengan resolusi yang telah dibuatnya.

Ada cerita tentang seorang pria yang begitu semangat ingin berolah raga di pusat kebugaran tepat tanggal 1 Januari. Ia telah membuat resolusi untuk rutin berolah raga setiap hari. Tapi, semangatnya itu terhalang oleh sulitnya mencari parkir di halaman pusat kebugaran tersebut. Akhirnya ia memarkir mobilnya 2 blok dari lokasi. Ketika ia komplain kepada manajer pusat kebugaran, ia mendapatkan jawaban enteng, “Datang saja 2 minggu lagi. Biasanya gym ini sangat penuh di awal tahun baru. Setelah 2 minggu akan kembali normal”.

Begitulah yang terjadi pada kebanyakan kita. Semangat hanya di awal: hot-hot chicken shit! Sebelumnya saya pun termasuk di antara orang banyak itu. Saya selalu membuat resolusi yang lengkap dan seimbang. Meliputi aspek bisnis, keuangan, sosial, mental, spiritual, keluarga, dan kesehatan. Biasanya di bulan kedua semua janji itu rontok satu per satu. Di penghujung tahun berakhir dengan rasa bersalah dan desperate.

Shapiro menawarkan sesuatu yang unik tapi masuk akal. Ketimbang membuat resolusi yang sulit dicapai, ia menawarkan membuat tema. Buatlah tema yang luas, yang tidak spesifik tapi menggairahkan, membangkitkan antusiasme dan semangat. Tema yang sesuai dengan passion dan gelora hati kita. Sesuatu yang dapat membuat kita rela berkorban deminya.

Tahun lalu tema hidup saya adalah menikmati hidup berkualitas, konsisten menuntut ilmu syar’i sambil mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji tahun depan. Memang tidak spesifik. Namun kalau saya lihat ke belakang, alhamdulillah saya mulai berubah. Indikatornya adalah, tidak panjang angan-angan dan meninggalkan semua yang tidak bermanfaat untuk kebaikan akhirat, mampu percakapan sehari-hari dalam bahasa Arab dan menambah hafalan juz 27. Akhir tahun 2018 saya tidak menyesal lagi dengan resolusi yang gagal dicapai seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak mengatakan mana yang lebih baik atau lebih buruk, tapi hanya mengatakan bahwa saya sering gagal dengan resolusi tapi merasa nyaman dengan membuat tema hidup.

Refleksi Akhir Tahun

Kehidupan dunia ini adalah sesuatu yang berbahaya karena membuat kita lalai kepada Allah. Perhatikan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam: “Kalau begitu bergembiralah dan berharaplah memperoleh sesuatu yang melapangkan diri kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi aku khawatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR Bukhari dan Muslim).

Perhatikan firman Allah dalam surat al-Hadid (57) ayat 20:

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam Tafsir-nya, “Allah mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah terangkan akhir kesudahan dunia dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah. Adapun janji (pahala dan surga) dan ancaman (adzab dan neraka) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para sahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah sebanyak-banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan.

Rasulullah pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Adapun dalam perbuatan, beliau merupakan sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi t berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An-Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud melihat Rasulullah tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para sahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa di alasi apapun. Umar berkata:

فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْـحَصِيرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيمَا هُمَا فِيهِ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَـهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا الْآخِرَةُ؟

Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah.” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab berkata kepada Nabinya:

ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لَا يَعْبُدُونَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَـهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang-orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan. Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia. Rasulullah bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang bodoh, karena dunia tak kan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal.

Filosofi Hari Ibu

Semua manusia yang ada setelah Adam dan Hawa pasti dilahirkan dari rahim seorang ibu. Betapa agungnya peran ibu. Betapa mulianya pengorbanan ibu. Kasihnya sepanjang masa, bak sang surya menyinari dunia. Budi baiknya tak pernah dapat dibalas oleh beta.

Namun sayangnya, banyak anak yang melupakan hak-hak ibunya. Mereka dilalaikan dengan kesibukan dunia yang tiada habisnya. Dan tatkala manusia sudah banyak yang menzalimi ibunya. Tatkala mereka tenggelam dalam lautan durhaka, karena kebodohan dan kesibukaannya. Sebagian orang tersadarkan dari mabuk dunia. Terjaga dari mimpi panjang dan angan-angannya. Menepi ke pantai kebajikan, berfikir untuk kembali menghargai ibu. Maka mereka berinisiatif untuk membuat suatu hari spesial untuk ibu.

Bagi ibu yang telah mengandung 9 bulan ada satu hari untukmu. Bagimu yang telah menyusuiku selama 24 bulan, aku peruntukkan satu hari dari hidupku untukmu. Bagimu yang tidak pernah lelah merawatku sejak lahir sampai aku dewasa, ada satu hari di hatiku untukmu. Bagimu yang rela tidak tidur untukku, rela lapar untukku, rela sakit asal aku sehat hanya ada satu hari bagimu. Satu hari dari 354 hari tahun hijriyah yang kumiliki, kupersembahkan untukmu. 24 jam dari 8496 jam waktuku, kuperuntukkan untuk mengingatmu.

Sadarlah, wahai anak manusia. Hal ini benar-benar suatu kebiadaban nyata dari seorang anak. Tidak tahu diri. Tidak kenal bakti dan balas budi. Dan memang itulah peradabaan orang-orang yang tidak beriman. Mereka ingin menggantikan kebiadabannya dengan membuat hari ibu.

Bagi yang beriman, jangan pernah merayakan hari ibu. Karena dalam Islam, semua hari adalah untuk ibu. Semua waktu adalah untuknya. Mengangkat suara atasnya diancam neraka. Tidak mentaatinya akan membuat murka Sang Pencipta. Keridhaan Ilahi berada di keridhaannya. Dia adalah orang yang paling berhak untuk dikasihi dan dihormati setelah Allah ta’ala dan Rasulnya. Bukan istri dan anak apalagi harta.

Kebaikannya tatkala hidup selalu dijaga. Pengorbanannya setelah matipun akan selalu diingat. Lisan seorang muslim selalu basah dengan doa untuknya. Jangan berkata: “Daripada tidak ingat sama sekali !”, itu filsafat orang-orang kafir, dan kamu bukan mereka. Ubahlah filsafat itu. Ubahlah sikapmu lebih mengutamakan istri dan anak. Kamu tidak akan pernah ada tanpa ibundamu. Kamu tidak akan dewasa tanpa ibumu. Kamu tidak akan seperti sekarang tanpa kasih sayang ibu.

Celakalah seorang yang tidak masuk surga sedang ibu bapaknya atau salah satu darinya, ia dapati masih hidup, itu pesan Nabi. Jadikanlah semua harimu untuk ibumu. Ya, mulai detik ini !