Archive for August 1st, 2013

Minal ‘Aidin wal Faizin

Tak terasa kurang dari seminggu kita akan merayakan hari raya idul fitri. Ucapan selamat, baik lewat SMS, email, facebook, twitter, kakaotalk dan media lainnya mulai kita terima. Di antaranya ada yang menggunakan ungkapan “minal ‘aidin wal faizin”, mohon maaf lahir dan batin.

Nah, ucapan “minal ‘aidin wal faizin” ini sering sekali dijadikan ungkapan selamat dalam hari raya idul fitri di negeri kita kalau kaum muslimin di luar negeri tidaklah mempergunakan ucapan ini untuk mengungkapkan selamat idul fitri, Mereka biasa menggunakan, “eid mubarak” walaupun di Malaysia dan Singapura mereka juga mengucapkan, “maaf zahir batin.”

Namun, tahukah Anda apa artinya “minal ‘aidin wal faizin”? Atau jangan-jangan Anda mengira artinya adalah mohon maaf lahir dan batin?

Entah darimana asal ungkapan ini, namun yang jelas ini sudah disebut-sebut dalam syair lagu Ismail Marzuki yang wafat pada tahun 1958:

Minal Aidin Wal Faizin, maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin

Eit, ini bukan berarti saya mengajak Anda bernyanyi. Tapi hanya ingin menunjukkan bahwa ungkapan ini sudah dipakai jauh sebelum Anda lahir, namun tetap saja masih banyak orang yang belum tahu apa maknanya.

Berikut penjelasan ringkasnya:

اَلْعَائِدُ

Al ‘Aaidu artinya adalah orang yang kembali, merupakan bentuk pelaku (fa’il) dari kata kerja (fi’il)

عَادَ

‘Aada yang artinya telah kembali. Sedangkan

اَلْعَائِدُوْنَ

Al ‘Aaiduuna merupakan bentuk jamak (jamak mudzakkar salim) dari Al ‘Aaidu yang artinya menjadi orang-orang yang kembali.‘

اَلْفَائِزُ

Al Faaizu artinya adalah orang yang menang, merupakan bentuk pelaku (fa’il) dari kata kerja (fi’il)

فَازَ

Faaza yang artinya telah menang, sedangkan

اَلْفَائِزُوْنَ

Al Faaizuuna merupakan bentuk jamak (jamak mudzakkar salim) dari Al Faaizu yang artinya menjadi orang-orang yang menang.

Al ‘Aaiduuna dan Al Faaizuuna karena kemasukan huruf jar

مِنْ

min, sehingga menjadi majrur. Karena kedua kata tersebut termasuk jenis jamak mudzakkar salim, maka ketika majrur

وْ

wawu sukun diganti dengan

يْ

ya’ sukun. Sehingga menjadi

اَلْعَائِدِيْنَ

Al ‘Aaidiina dan

اَلْفَائِزِيْنَ

Al Faaiziina. Dalam kalimat lengkapnya menjadi,

مِنْ اَلْعَائِدِيْنَ وَ اَلْفَائِزِيْنَ

“Min Al ‘Aaidiina wa Al Faaiziina”.

Jika ada huruf yang berharakat sukun yang setelahnya ada alif lam dan sebelumnya berharokat kasrah, untuk memudahkan pembacaan maka huruf yang berharakat sukun tadi diberi harakat fathah. Contoh :

مِنْ اَلْعَائِدِيْنَ

min al ‘aaidiina dibaca menjadi

مِنَ الْعَائِدِيْنَ

minal ‘aaidiina.

Dan jika ada hamzah washal, maka ketika di awal kalimat maka cara membacanya diberi harakat tergantung katanya, bisa fathah atau kasrah. Tapi jika berada di tengah kalimat maka cara membacanya dianggap tidak ada. Contoh :

Jika di awal kalimat maka dibaca

اَلْعَائِدِيْنَ

al ‘aaidiina, hamzahnya berharakat fathah. Jika di tengah maka dibaca

مِنَ الْعَائِدِيْنَ

minal ‘aaidiina, hamzahnya dianggap tidak ada.

Jamak mudzakkar salim dalam keadaan majrur jika diwaqafkan, maka huruf nun-nya diberi harokat sukun. Contoh :

اَلْعَائِدِيْنَ

al ‘aaidiina ketika disukun maka dibaca menjadi

الْعَائِدِيْنْ

al ‘aaidiin. Sehingga bisa dibaca menjadi :

مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَ الْفَائِزِيْنَ

“Minal ‘Aaidiin wal Faaiziin”. Jika diartikan perkata maka :

مِنْ

Min artinya dari

الْعَائِدِيْنَ

Al ‘Aaidiin artinya orang-orang yang kembali

وَ

Wa artinya dan

الْفَائِزِيْنَ

Al Faaiziin artinya orang-orang yang menang. Sehingga arti lengkapnya menjadi :

“Dari orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang”.

Arti diatas terlihat masih susah dimengerti, kalimatnya rancu. Memangnya Kita mau kembali ke mana? Apa pada ketaatan atau kemaksiatan? Mungkin artinya begini:

“Termasuk orang yang kembali (merayakan hari raya i’ed) dan orang-orang yang menang.”

atau “(Semoga kamu) termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang.”

Tapi yang pasti yang diinginkan disini adalah sebuah doa bagi yang mendapat ucapan selamat, yang pasnya mungkin begini :

“Semoga Anda termasuk orang yang kembali (merayakan hari raya i’ed) dan orang-orang yang menang.”

Jadi, jangan salah mengartikan dengan “Mohon maaf lahir dan batin” lagi.

Lalu pertanyaannya, bagaimana cara menjawab ucapan selamat idul fitri yang benar?

Jawabannya adalah

تقبل الله منا ومنكم

“Taqabbalallahu minnaa wa minkum” yang artinya: Semoga Allah menerima (ibadah) dari kami dan dari kalian”

Dalilnya :

1. Dari Habib bin Umar Al-Anshari; bapaknya bercerita kepadanya bahwa beliau bertemu dengan –shahabat– Watsilah radhiallahu ‘anhu ketika hari raya, maka aku ucapkan kepadanya, “Taqabbalallahu minna wa minkum,” kemudian beliau (Watsilah) menjawab, “Taqabbalallahu minna wa minkum.” (H.r. Ad-Daruquthni dalam Mu’jam Al-Kabir)

2. Dari Adham, mantan budak Umar bin Abdul Aziz; beliau mengatakan, “Ketika hari raya, kami menyampaikan ucapan kepada Umar bin Abdul Aziz, ‘Taqabbalallahu minna wa minkum, wahai Amirul Mukminin.’ Maka beliau pun menjawab dengan ucapan yang sama dan beliau tidak mengingkarinya.” (H.r. Al-Baihaqi)

3. Dari Syu’bah bin Al-Hajjaj; beliau mengatakan, “Saya bertemu dengan Yunus bin Ubaid, dan saya sampaikan, ‘Taqabbalallahu minna wa minka.’ Kemudian beliau jawab dengan ucapan yang sama.” (H.r. Ad-Daruquthni dalam Ad-Du’a)

Allah berfirman,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Jika kalian diberi salam dalam bentuk apa pun maka balaslah dengan salam yang lebih baik atau jawablah dengan yang semisal ….” (Q.s. An-Nisa’:86)

Sehingga ucapan “Taqabbalallahu minnaa wa minkum” lebih utama daripada ucapan “Minal ‘Aaidiin wal Faaiziin” Allah subhanahu wa ta’ala dalam firmannya,

أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَىٰ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ؟

“Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al Baqarah : 61)

Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan itu hanya ‘urf (kebiasaan/adat istiadat setempat) saja, sehingga boleh mengatakan “Minal ‘Aaidiin wal Faaiziin” atau “Taqabbalallahu minnaa wa minkum” Karena orang-orang tidaklah menjadikannya sebagai ibadah dan bentuk pendekatan diri pada Allah. Selama itu hanyalah adat (kebiasaan) yang tidak ada dalil yang melarangnya, maka itu asalnya boleh. Sebagaimana para ulama katakan, ‘Hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Sedangkan ibadah itu terlarang dilakukan kecuali jika sudah ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya [Majmu’ Fatawa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 16/128]

Wallahu a’lam.